Salah satu perubahan pada UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) adalah pemberian fasilitas berupa penghasilan tidak kena pajak bagi pengusaha orang pribadi yang menggunakan tarif PPh Final berdasarkan PP 23 Tahun 2018. Sebelumnya, PPh Final dihitung dari seluruh omzet dikalikan tarif sebesar 0,5%. Pada UU HPP, atas bagian penghasilan sampai dengan Rp500 Juta tidak dikenakan pajak. Hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan keadilan di kalangan UMKM.
Meskipun begitu, menurut dosen perpajakan Universitas Indonesia, Dr. Ning Rahayu, dengan PPh Final, keadilan bagi wajib pajak akan sulit tercapai jika tidak menerapkan tarif yang sifatnya progresif. “PPh Final tidak akan mencapai keadilan horizontal maupun vertikal. Orang yang omzetnya di atas 500 (juta), katakan 510 (juta) sampai 4,8 M, itu sama-sama 0,5%. Sehingga di dalam beberapa penelitian ternyata pengenaan PPh Final justru menguntungkan yang omzetnya mendekati 4,8M. Sementara mereka yang omzet rendah, masih merasa berat, karena PPh Final basisnya bruto”, ungkapnya pada acara seminar yang diadakan oleh Universitas Indonesia, Jumat (02/12/2021).
Pengenaan pajak dengan basis bruto memang tidak mampu mencerminkan kemampuan untuk membayar Wajib Pajak. Ability to pay dapat tercermin jika pemajakan dilakukan dengan basis neto. Namun, menurut Ning Rahayu, penerapan basis neto bagi UMKM juga dapat menimbulkan masalah lainnya, yaitu pembukuan. Sistem pembukuan yang kompleks tentunya dapat menimbulkan beban tambahan, khususnya bagi UMKM baru.
Pemberian fasilitas penghasilan tidak kena pajak bagi UMKM pada UU HPP merupakan langkah awal yang baik dalam upaya mendorong UMKM. Ning Rahayu menambahkan, perlakuan pajak bagi UMKM memang memerlukan treatment pemajakan khusus agar dapat menciptakan keadilan. Salah satu negara yang dapat dijadikan contoh menurutnya adalah Thailand karena menerapkan tarif progresif bagi UMKM. UMKM di Thailand juga dapat melakukan pembukuan secara sederhana sehingga tidak menimbulkan beban tambahan.